Halaman
▼
Kamis, 05 Juli 2012
Saat Roti Bicara
Seorang temen, sebutlah Melati, pernah punya blind-date. Ini kerjaan ponakannya yang nyomblangin dia sama guru privat-nya. Secara dia cewek gitu lho, nggak mungkin dia seantusias kucing garong liat ikan asin walaupun tuh ikan masih dikarungin. Tapi si guru pivat itu ternyata seorang gerilyawan! Maksudnya, dia ternyata langsung berani gerilya SMS ke Melati. Isinya standar lah, say hai dan kenalan. Gue sempat ngelihat juga sih saat Melati beberapa kali asyik
masyuk SMS-an sampai nanya-nyanya ke gue segala:
“Kalau cowok Taurus tuh orangnya gimana sih?”
Pfiuhh, pertanyaan yang lebih susah dari PPKn nih, secara gue bukan Pengasuk Rubrik Zodiak.
“Doyan nyeruduk….?” jawab gue nggak yakin.
Melati menatap gue jutek, minta gue serius. Tapi demi melihat tampang gue yang berubah dongo, dia menyerah sendiri ha hah…..
Dan kemudian…. eng… ing…eng…. Blinddate pun dilangsungkan! Tempat sudah ditentukan: sebuah mal terkenal di bilangan Bekasi yang bisa dijangkau oleh keduanya. Dan sebagaimana yang biasa terjadi dalam blinddate, mereka akan ketemu di suatu tempat makan buat gobrol ini-itu. Penampilan justru perlu, minimal rapi, karena first impression dalam blinddate itu nomor wahid. Habis itu baru deh ngobrol di restoran itu. Dari cara dia ngomong dan sebagainya nanti juga bakal ketauan khan ada chemistry atau nggak di antara keduanya. Kalau ada, ya lanjut ke pertemuan berikutnya. Kalau nggak ada ya ubar jalan dengan cara yang terlihat “natural”.
Tapi untuk kasus temen gue ini kejadiannya justru rada-rada ajaib. Nggak ada tuh acara ketemuan di restoran cepat saji atau lemot saji. Nggak ada juga ngobrol nyari chemistry atau anak ilang. Yang ada justru ketemuan di depan pintu masuk yang potensial bikin betis varises dan kena udara panas serta debu dari luar. Habis ketemu…. Makan? boro-boro! Nawarin aja NGGAK! Yang ada malah nangkring aja di pinggir pager di salah satu lantai atas! Masih mending kalau obrolannnya asik. Beda dengan di SMS, kalau ketemu tuh gerilyawan ternyata pelit kata!
“Kenapa nggak kamu yang inisiatif aja?” tanya gue.
“Plis ya, dengan nggak banyak ngambil inisiatif justru nunjuikin gue menghargai cowok. Masak gue bilang, ‘duduk di restoran aja yuk, biar aku yang bayar.’? Itu sama aja gue merendahkan dia! Yang gue bisa cuma ngasih sinyal dengan bilang, ‘Kita mau ngobrol di mana nih? Berdiri mulu pegel lho.’”
“Dan dia ngerti?”
“NGGAK! Jawab aja nggak!!”
“Mungkin dia lagi nggak punya duit…?”
“Alaaaa….seenggak punya duitnya orang, minimal dia nawarin gue ice cream cone kek, walaupun akhirnya cuma basa basi!”
“Hmmm, masuk akal. Dan lebih masuk akal lagi kalau dia mungkin orangnya memang kikuk…..”
Dan Melati makin meradang. “Sekikuk-kikunya cowok, setidaknya dia harus ngerti kalau ngajak ketemuan cewek untuk berdiri doang, ya jangan berdiri di depan restoran cepat saji!”
Gue melongo. “Dia melakukannya?”
“YA!”
Pantes doi meradang….
Maka dari itu kali ya dia langsung aja minta pulang. Tapi sebelum itu, dia minta anter tuh cowok ke bakery yang ada di mal itu dulu. Maksud Melati sih mau beli oleh-oleh buat orang rumah, biar pulang nggak dengan tangan hampa. Tapi akhirnya doi malah beliin juga roti buat si cowok itu.
“Nih, buat kamu!” kata Melati.
Cowok itu melongo.
“Aku tahu kamu anak kos, makanya kukasih….!” Sebuah pengertian yang maknanya bersayap:
1. Melati bener-bener ngerti cowok itu memang anak kos sehingga uang sakunya tongpes
2. Sebagai penekanan bahwa sinyal-sinyal yang dikasih Melati ke cowok itu supaya diajak mampir ke restoran nggak semata-mata doi celamitan minta makan gratis tapi karena pengin diperlakukan sebagaimana mestinya dalam acara nge-date.
“Sudah saatnya roti berbicara untuk menunjukkan maksud gue itu.”
Dan nggak tahu kebetulan ataukah memang sudah takdir—yang jelas nggak sengaja—hari itu, bakery yang dikunjungi Melati bernama….
BREADTALK………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar