Sebelum jawab pertanyaan di atas, baiknya simak cerita saya ini.
Rumah saya, kebetulan ada di gang buntu. Gang buntu itu sempit sekali, punya tikungan yang cukup riskan. Ironisnya, di sana nangkring warung gado-gado yang semakin membuat riskan. Warung itu jadi blind-spot sehingga kecelakaan sering terjadidi sana.
Lucunya, pemilik warung tidak mau disuruh pindah. Dia ngotot bercokol di sana meski harus berantem dengan sesama tetangga. Padahal waktu buka lapak di sana pun dia tidak pernah minta izin.
Puncak pertengkaran terjadi sebelum bulan Puasa kemarin. Saat mau membersihkan lapak, dia kaget melihat etalase dagangannya pecah atau dipecahkan seseorang. Dia mengira ada tetangga sengaja memecahkan demi mengusirnya (padahal konon ini kerjaan ABG yang sering nongkrong malam-malam yang nggak sengaja memecahkan etalase itu lalu kabur). Dia langsung emosi pada semua tetangga. Tidak berhenti di situ, dia telepon pamannya yang oknum TNI berpangkat sersan.
Ilustrasi aja. Bukan lapak yang dimaksud |
Untung keburu Maghrib, oknum itu memilih pulang tanpa menangkap sebiji pun tesangka. Tapi rasa tidak nyaman menguar dari hati para warga. Mereka merasa diteror secara batin, terlebih dengan aura permusuhan yang berlarut dengan pemilik warung. Bukan tidak mungkin suasana ini akan terus terulang bahkan kian parah di setiap "percikan" kecil.
"Padahal kalau dia mau direlokasi, kejadiannya nggak akan begini," kata seorang warga.
"Sebenarnya kita bisa lho, Pak, merelokasi dia tanpa perlu berantem terus kayak gini," kata warga lain.
"Ohya? Gimana?"
"Tinggal jangan dibeli aja dagangannya. Kalau nggak laku, dia juga pasti pindah."
Dari cerita di atas, kita sudah bisa mengasosiasikannya dengan kejadian Palestina yang diserang (bahkan dikepung terus) oleh mitraliur israel, kan? Jadi, boleh dibilang, kita setahap bisa yakin bahwa aksi boikot bisa menjadi jalan keluar untuk konflik Palestina.
Tapi..... ada tapinya.....
Seperti banyak dibahas oleh netizen yang kontra cara ini, boikot produk menimbulkan ekses negatif, seperti kita membuat banyak karyawan perusahaan yang kita boikot itu jobless. Sama seperti ekses kalau cara warga di kampungku berhasil, si pemilik warung bisa bangkrut. Masih mending kalau dia bisa dagang di tempat lain. Logikanya, dia dagang di tempat riskan begitu pasti karena dia tidak mampu bayar sewa tempat di lokasi lain. Dia pedagang miskin. Yakin dia punya modal lagi kalau dirinya bangkrut?
Kalau soal ini sebenarnya lain soal. Ini baru terjadi di pikiran kita saja. Kalau pedagang gado-gado itu bisa jadi gagal di tempat lain, berarti dia juga BISA JADI sukses, kan? Artinya masih fifty-fifty. Masih tentatif. Yang penting selesaikan dulu masalah yang terjadi sekarang.
Kelompok Yahudi Haredi/Ortodoks juga ikut boikot demi kemanusiaan |
Buktinya sudah kelihatan. Beberapa perusahaan yang disinyalir menyalurkan dana untuk kegiatan propaganda Israel mulai panik, lalu mengadakan konpers, dan menyatakan mereka tidak ada hubungannya dengan program Zionisme atau tidak menyalurkan uang mereka ke sana.
Coba bandingkan dengan Korea Utara. Mau diembargo segimana juga mereka tetap bisa mandiri, karena tokh tatanan ekonomi mereka tidak didasarkan pada kapitalisme.
Jadi mengulang pertanyaan apakah kita yakin boikot bisa selamatkan Palestina?
Ya, kita yakin bisa. Minimal sebagai alat tawar menawar agar Israel mau mendengarkan aspirasi kita yang mengidamkan perdamaian antar-segala etnis (tidak melulu Palestina) di atas segalanya. Tokh, saya pribadi percaya, langkah "diplomasi" lebih ampuh daripada langkah "mata dibayar mata". ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar