"Menjadi dokter itu baik. Menjadi
pedagang juga baik. Tapi menjadi keduanya sekaligus tidaklah baik.”
cerpen kawan lama saya, U_dhin Syamli. U_dhin menulisnya beberapa tahun silam sebagai penulis cerpen sekaligus anggota korps berjubah putih juga. Yah, anggap saja dia sedang bertafakur tentang profesinya.
Tapi, buat orang awam seperti kita mungkin bukan sekedar tafakur. Ini semacam pengabsahan bahwa di zaman sekarang kesehatan (memang) komoditas yang (sengaja) dibisniskan. Tak ada yang tak mahal kalau urusannya obat-mengobati. Untuk pilek saja bisa keluar kocek 100-300 ribu. Belum penyakit lainnya, yang ditambah urusan tes laboratorium, biaya sewa kamar, tebusan obat yang jenisnya keroyokan (saking banyaknya), biaya sewa alat kesehatan, dan masih banyak lagi yang bikin kantong kita miskin. Aduh aduh aduh…… memikirkannya saja pening kepala kita! Maunya sih kita marah saja di social media atau blog, dan teriak:
“WOI! Siapa biang keladi yang membuat ini terjadi?!”
Wah, kalau sudah mau menyalahkan orang lain, saran saya tahan dulu lah. Ada banyak sekali pihak yang terlibat dan bersumbangsih di dunia kesehatan agar segala “tetek bengek” di dalamnya terselenggara dengan baik. Saling menyalahkan cuma akan membuat otak kita makin stres, lalu kita jatuh sakit (lagi) deh….
Ada baiknya kita simak saja kisah indah yang saya temukan ini….
SEHATLAH SEBELUM SAKIT
Suatu hari saya menghadiri acara Dinas Kesehatan Jakarta dan Kemenag Kota Jakarta yang berkolaborasi dengan sejumlah pondok pesantren DKI Jakarta. Jujur, awalnya saya kurang paham program apa yang sedang mereka jalankan. Eeeehh... ternyata ketiga pihak sedang serius menggodok kaderisasi santri di dunia kesehatan. Kalau di sekolah formal mungkin setara dengan program dokter kecil. Nantinya kader-kader ini akan menjadi ujung tombak dua kementerian untuk menggalakkan kesehatan di pesantren.
Kebetulan acara yang saya hadiri adalah sesi progress report dari perwakilan pesantren-pesantren tersebut. Itu artinya, program sudah lama berjalan. Progress report disampaikan melalui layar proyektor menampilkan foto-foto yang menjadi bukti progres mereka.
Melihat bukti progres itu, saya dibuat kagum. Saya ini lulusan pesantren (non modern/salaf) lho. Saya tahu benar kehidupan santri itu sebenarnya sembarangan dan jorok. Penyakit bisa datang bergantian, seperti teman dekat yang soulmate banget dengan kita. Penyakit diare itu sudah pasti, penyakit kulit apalagi! Tidak afdol rasanya kalau santri belum pernah korengan! Makanya, lumrah sebenarnya kalau pesantren (non modern/salaf) itu terkesan kumuh luar dalam!
Saya (lingkar merah) dan teman-teman waktu lagi nyantri. Kami lagi bantu warga miskin bikin septic tank biar hidup mereka bersih, padahal hidup kami sendiri jorok ha ha *miris |
Tapi bukti progres itu menunjukkan bahwa junior-junior saya sudah berubah. Lingkungannya terlihat bersih, pengelolaan sampahnya rapi, dan ada UKS-nya! Wow! Di zaman saya boro-boro ada itu UKS!!! Apalagi stok obat-obatan yang segitu banyaknya, dari obat pasaran hingga obat apotekan. Namun yang paling takjub, mereka juga ternyata punya data lengkap terkait potensi sakit setiap santri, dari mulai alergi hingga hal lainnya, sehingga mudah untuk merencanakan program kesehatan bagi setiap santri dan mudah mengambil tindakan jika santri bersangkutan sakit.
Nah, apa kira-kira yang kita pelajari dari kisah di atas? Bahwa kita harus masuk pesantren biar bisa dirawat di UKS?
Hmmm….. boleh juga…..
Tapi lebih tepatnya, bahwa menjaga sehat sebelum sakit tetap yang utama untuk menghadapi betapa menyebalkannya (ongkos) kesehatan di Indonesia. Jalannya jelas dengan berlaku hidup sehat. Kita lakukan langkah-langkah yang membuat kita sehat, dan kita jauhi hal-hal yang membuat kita sakit. Kalau sehat terus, sudah pasti kita tidak perlu buang-buang duit untuk berobat kan?
Pertanyaaannya, bagaimana kalau sudah berusaha menjaga kesehatan tetap sakit jua?
Nah, kalau untuk yang ini, kita harus tilik dulu cara Dompet Dhuafa…..
THE DOMPET DHUAFA’s WAY
Biar saya ceritakan lagi satu kisah.
Saya terhitung sebagai donator di Dompet Dhuafa (DD). Saya beberapa kali berinfak di sana. Saya biasanya percaya saja mau diapakan juga uang itu oleh DD.
Tapi hari itu beda. Saat baca kuitansinya, saya baru menyadari ada yang “janggal” di sana.
“Ini apa, Mbak? Kok ada tulisan-tulisan seperti ini?” tanya saya.
“Oooh…. Ini, Mas,” kata penjaga booth DD di bilangan mal di Pejaten. “Ini adalah opsi barangkali Mas mau menyalurkan harta Mas ke sektor yang Mas pilih. Ada sektor pendidikan, ada wirausaha, ada juga kesehatan. Misalnya kesehatan nih. Mas bisa membantu program kami membangun layanan kesehatan cuma-cuma untuk rakyat miskin. Dengan program ini…….”
Layanan kesehatan Dompet Dhuafa. Gambar diambil dari www.lkc.or.id |
Well, okay. Saya anggap kamu paham arah pembicaraan saya sekalipun cerita saya potong. Saya anggap kamu paham bahwa ada upaya mulia membangun layanan kesehatan gratis untuk kaum miskin di negeri ini. Ya ya ya…… saya paham itu bukan kita. Kita adalah kaum berkantong pas-pasan yang “miskin tidak kayak pun tidak” tapi tetap saja tergilas oleh kejamnya ongkos untuk berobat. Tapi yang saya bicarakan adalah “atmosfer”-nya lho.
Bagaimanapun ongkos berobat mahal karena atmosfernya memang begitu. Atmosfer ini tidak cocok untuk semua kalangan. Kita butuh atmosfer yang ramah bagi orang-orang yang kurang beruntung, orang yang miskin, orang yang membutuhkan pengobatan tapi terhalang biaya.
Tapi atmosfer baru ini tidak akan berjalan kalau cuma melibatkan satu orang. Dibutuhkan banyak dan makin banyak dan makin banyak lagi orang yang seiya sekata. Untuk itulah DD menggalangnya dengan melibatkan partisipasi banyak orang seperti saya juga orang-orang lainnya. Dengan begini atmosfer akan lebih mudah terbangun. Apalagi kalau kita rajin nulis di blog, dijamin makin cepat besar dah!
Memang, pertama-tama layanan kesehatan pasti hanya berprioritas untuk kaum miskin saja, tapi seiring berjalannya waktu, sehat untuk semua kalangan SUDAH PASTI akan terwujud!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar