Halaman

Jumat, 14 Agustus 2015

Dia yang Menyayangi, Dia yang Menyakiti

Saya ingin berbagi kisah menyakitkan di lingkungan saya.

Sebelumnya saya tanya, Anda ingat kisah Angeline? Oh, tentu saja Anda ingat--siapa pun akan ingat! Lewat kisah sedih ini kita tertampar oleh kenyataan betapa fragile-nya dunia anak.

Dan yang paling menyakitkan (dari permasalahan anak) betapa pihak yang kerap membuatnya fragile orang paling dekat dengannya, atau yang menyayanginya.

Saya tidak lagi bicara tentang Angeline--atau siapa pelaku sesungguhnya kasus itu. Saya bicara tentang apa yang saya lihat di lingkungan saya, Kota Cirebon. Kebetulan istri saya pekerja sosial sebuah kementerian di sana, saya sering mengantarnya terjun ke lapangan. Kebetulan pula saya berkiprah di bidang penyuluhan masyarakat. Saya kerap menemukan hal memilukan yang dialami anak-anak oleh orang-orang yang (mengaku) menyayanginya.
Ilustrasi. Sumber : di sini

1. Masa Depan Mereka Dianggap Tidak Penting

Ini terutama terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah. Mereka tidak memiliki anggaran lebih untuk menyekolahkan anak. Padahal pemerintah sudah menggratiskan biaya pendidikan dasar. Rasanya sulit dimengerti mereka membiarkan anak-anaknya turun ke jalan (entah mengemis, entah mengamen, entah menjadi polisi gopek) alih-alih sekolah. Alasan orangtuanya pun klise : "demi dapur tetap ngebul."

Lain soal dengan seorang ibu (sebut saja Ibu M). Dia single parent yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Istri saya mengupayakan si anak masuk sekolah luar biasa disokong tunjangan pemerintah. Namun Ibu M tidak sepakat dan menyiratkan bahwa hal itu memalukan. Pertanyaannya, memalukan bagi siapa? Bagi dirinya? Tidakkah dia coba melihat dengan sudut pandang anaknya? Sang anak PASTI butuh pendidikan. Alangkah lebih baik jika dia dibimbing  oleh tenaga-tenaga pengajar yang tepat dan lebih memahami kebutuhannya. Tapi Ibu M kukuh pada pendiriannya. Terakhir saya dengar, dia  memasukkan sang anak ke sekolah umum. Saya tidak menyalahkan hal tersebut, tapi saya yakin kebutuhan si anak tidak terpenuhi sepenuhnya.

2. Anak Dianggap sebagai Beban

Ada seorang ibu single parent lainnya. Dia janda ditinggal mati yang harus menghidupi tiga anaknya. Semenjak bertemu seorang lelaki, dia pergi dari rumah meninggalkan anak-anaknya dan tak kembali sampai sekarang. Si sulung kelabakan mencari kerja, dan anak nomor dua putus sekolah demi membantu sang kakak. Bagaimanapun hidup tanpa orangtua itu sulit, apalagi dengan kondisi psikologis seperti mereka. Si sulung pun menangis di hadapan istri saya. Sebagai pekerja sosial, istri akan berusaha membantu menurut kapasitasnya. Tapi alangkah memilukan jika hal ini ternyata menimpa banyak anak di Indonesia.

3. Anak adalah Obyek Kekerasan

Sebagai penyuluh masyarakat, saya menjadi mitra kelompok kerja (Pokja) prakarsa Pemkot Cirebon yang fokus dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Cirebon. Meski kota kecil, kekerasan perempuan dan anak pun terjadi di sini. Periode Agustus 2014-Maret 2015 saja terjadi 23 kasus kekerasan. Itu yang ketahuan. Bagaimana dengan yang tidak ketahuan/disembunyikan rapat-rapat?

TKPnya jelas di mana-mana. Di rumah, terminal, sekolah, bahkan kompleks olahraga yang sepi. Fokus penanganan Pokja tidak melulu pemrosesan hukum. Penanganan paling menyulitkan justru rehabilitasi psikologis korban dan pengendalian media massa.

Rehabilitasi psikologis korban tidak semata-mata agar korban bisa melanjutkan hidup, tapi juga menghilangkan ketergantungan korban terhadap pelaku. Ini misalnya terjadi pada ibu dan anak yang menjadi korban kekerasan suami/ayahnya. Tim Pokja sempat menyembunyikan mereka di safe house, tapi ibu dan anak itu memilih kembali ke rumah. Sang ibu bilang, "kalau tidak kembali, saya tidak punya uang untuk makan." Dengan kata lain, korban masih dependen pada pelaku kekerasannya.

Pengendalian media massa juga penting. Media massa juga bisa jadi faktor pemicu korban sulit move on. Bayangkan saja ketika kekerasan seksual terjadi pada siswa sekolah X, misalnya, media dengan santainya menulis berita:

"Korban, sebut saja Melati, pelajar kelas 11 sebuah SMU di kawasan Tuparev. Lokasi kejadian di rumahnya yang tak jauh dari Terminal Harjamukti."

Kendati berita terkesan implisit, warga akan mudah mendeteksi keberadaan korban lewat keterangan "minim" itu. Warga sekolah saja pasti sudah kasak-kusuk menggosok isu ini menjadi sip. Apalagi ditambah kasak-kusuk warga seantero Cirebon yang membaca koran? Pada akhirnya, korban yang sudah terguncang oleh durjana, mesti terguncang lagi oleh "penghakiman" warga yang mengenalinya lewat info minim itu. Jadi, maaf jika saya katakan pengendalian informasi sensitif seperti ini diperlukan jua.

Ilustrasi. Sumber: di sini 

Sekarang kita bicara solusi.

Kultur Indonesia itu unik : kita sungkan untuk "ikut campur" rumah tangga orang lain. Masalahnya, apakah kita akan berpangku tangan jika melihat penelantaran atau kekerasan anak di lingkungan kita sendiri?

Berikut ada beberapa langkah solutif agar kita "ikut campur" dengan cara "gaya" :

1. Jika melihat anak yang mengamen pada jam sekolah, misalnya, coba tanya mengapa dia tidak sekolah, di mana rumahnya, di mana orangtuanya. Jika alasannya malas atau semacamnya, berarti dia kurang motivasi dan teladan. Saya biasanya berbagi kisah inspiratif padanya tentang anak miskin yang gigih sekolah meski jembatan runtuh atau anak miskin yang sukses mengukir prestasi.

2. Jika masalahnya terkait mafia pengemis atau perdagangan anak, jangan bertindak sendiri. Koordinasikan dengan pihak berwajib atau lembaga sosial yang concern masalah ini.

3. Mulailah belajar sedikit tentang Psikologi. Tidak perlu rumit-rumit, cukup cara memahami cahaya mata dan raut wajah saja. Ini berguna untuk mendeteksi dini penelantaran dan kekerasan anak di lingkungan kita.
Informasi apa yang Anda dapat dari wajah anak seperti ini? Sumber gambar : di sini

4. Biasakanlah mencantumkan nomor-nomor telepon darurat pihak berwajib di ruang publik, seperti sekolah, WC umum, dan ruko-ruko tepat-Anda berbisnis. Jika hal-hal buruk terjadi  pada anak-anak, saksi kejadian tahu ke mana mesti melapor.

5. Jika terjadi kekerasan seksual, bawa korban ke Unit Gawat Darurat yang memiliki pusat pelayanan terpadu penanganan kekerasan seksual. Korban JANGAN dimandikan dulu dengan alasan apa pun agar jejak-jejak si pelaku tidak terbawa hanyut air mandi.

6. Sediakan penerangan jalan yang memadai di lingkungan kita. Lingkungan yang sepi plus remang-remang sangat disukai pelaku tindak kekerasan.

7. Jangan mudah "menghakimi" korban kekerasan seksual, terutama jika korban di bawah umur. Jangan juga terlalu kepo, tanya ini-itu yang tak perlu. Korban yang terguncang akan menganggapnya bagian dari "penghakiman".

8. Jangan pula terlalu mengumbar informasi kecuali kepada pihak berwenang yang memproses kasus ini. Gunakan katalisator "apakah yang saya sampaikan ini berguna/tidak dalam menolong si korban" sebelum berbagi informasi.

9. Jika punya dana berlebih, cobalah menjadi orangtua asuh. Bisa Anda lakukan secara swakarsa, bisa pula dengan menjadi donatur lembaga sosial yang bergerak dalam penanggulangan masalah anak.

Demikian Catatan Anak Bangsa ini saya tulis. Tentunya banyak sekali kekurangan, untuk itu saya mohon yang sebesar-besarnya. Ini semata saya sampaikan dengan harapan tercipta lingkungan yang ramah bagi anak-anak Indonesia.


PS :

Tulisan ini tertulis berkat stimulus dari lomba blog yang diadakan oleh SOS Childrens' Village. Bagi yang penasaran apa itu SOS Children's Villages silahkan klik SINI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar