MENGAJARI IMAH
Mungkin tak seharusnya aku menyanggupi permintaan Abah. Dengan begitu,
aku tak perlu bertemu pemilik senyuman itu. Semua kini terlambat. Aku
hanya sanggup meraup wajahku dengan telapak tangan sambil berusaha
meredam degup jantungku dengan memohon ampunNya dalam wiridku. Ya
Tuhan, beginikah yang dialami Imam Syafii saat menghindari perempuan
demi kekhusyu’an pembelajarannya dulu?
*&*&
“Abah memanggilku?” ucapku ketika menemui Abah di rumahnya. Ini adalah
panggilan yang tak biasanya mengingat hari ini aku tidak membolos lagi
mengaji. Abah mengangguk elegan dalam posisinya yang duduk di atas
kursi teras. Tak jauh di sampingnya duduk pula Umi yang menjadi nyai –
predikat hormat bagi istri kiai di Cirebon – di rumah ini. Sedangkan
aku cukup duduk bersila di lantai teras. Bukan karena Abah tak
mengizinkan aku duduk di kursi sepertinya, tapi inilah wujud hormatku
kepada Abah. Wujud memuliakan guru sebagaimana kupahami melalui kitab
Ta’lim Mutaalim yang pernah Abah ajarkan kepadaku.
“Bahasa Arabmu fasih, tah?” tanya Abah dengan logat Jawa Cirebon yang kental.
“Alhamdulillah menguasai sedikit, Abah,” aku merendah.
“Bisa ajarkan si Imah juga? Nilai Bahasa Arabnya di sekolah jeblok.
Bikin malu bapaknya saja!!” ucap Abah, tanpa bermaksud marah-marah.
Mengajari Kang Imah? desisku gelagapan. Terbayang aku akan duduk
berduaan bersama anak tunggal abah itu, yang tentu saja bukan muhrimku.
Juga kecamuk pikiran yang mendadak berkelindan. Bukankah Abah lebih
jago berbahasa Arab ketimbang aku? Mengapa perlu aku? Begitu pikirku.
Dan pikiran itu sempat ingin kujadikan alasan menolak permintaan Abah.
Tapi beranikah aku yang hanya seorang murid menolak permintaan gurunya?
“Abah sudah mengajarinya,” untung Umi menimpali, seakan mengerti
dilemaku, “Tapi diajari ayahnya sendiri, anak itu malah makin malas.
Jadi kami minta tolong kamu saja.”
Aku terdiam paham. Tetapi
entahlah. Hatiku rasanya masih enggan menyetujui permintaan ini.
Bagaimanapun Kang Imah bukanlah muhrimku – dan aku belum pernah
berduaan denga nonmurimku selama belajar di pesantren ini.. Jika sampai
berduaan, bisa-bisa malah mengudang setan untuk menggoda!!
“Jangan khawatir. Nanti Umi yang akan menemani kalian,” lagi-lagi Umi menebak kegundahanku.
Ucapan itu sungguh menenteramkan. Meskipun sebenarnya tak sepenuhnya
mengusir kegundahan. Harap dimaklumi saja. Setiap orang yang akan
menghadapi situasi baru pasti akan merasakan ketakutan dan kegugupan
seperti ini. Yah, semoga saja kehadiran Umi mengawasi kami membuat hal
macam-macam tidak timbul.
*&*&
“Fa’ala yaf’ulu fa’lan wa maf’alan, fahuwa…”
Sore itu kami memulai pelajaran selepas pengajian Qur’an dan sebelum
sorogan Tafsir Jalalen ba’da Maghrib nanti. Tak ada siapapun lagi di
ruang tamu tempat kami belajar ini, kecuali Umi, tentu saja, yang
mengawasi kami sambil membaca sebuah majalah. Dan untuk pelajaran
pertama ini, kuimla bahasan tasrif yang merupakan tata bahasa dasar
Bahasa Arab yang sudah sangat akrab dipelajari kalangan santri. Dengan
ini, diharapkan Kang Imah, atau Kang Halimah – sebutan “Kang” adalah
panggilan hormat bagi putra maupun putri kiai di Cirebon – akan
mengejanya ulang setelahku.
Tapi yang kudengar kemudian malah tawanya.
“Aku sudah madrasah aliyah,” ujarnya, “Masak belajar tasrif lagi?”
Aku terbengong. Sekilas pandangan kami tanpa sengaja beradu. Tampak
juga senyum menyungging di wajahnya, membuat mukaku memerah karena
gugup. Untungnya Kang Imah tak menyadari itu. Ia keburu memalingkan
wajahnya untuk mengambil buku yang sedari tadi dipangkunya dan hendak
diperlihatkan kepadaku sebagai bahan pembelajaran.
Kejadian
selanjutnya kami asyik belajar bersama. Namun tahukah kau, Kawan, ada
sesuatu tertinggal sejak pandangan pertama tak sengaja itu. Sesuatu
yang tertinggal di hatiku!! Yang begitu berkesan sehingga aku pun tak
kuasa untuk memahaminya! Dan kesan itu tak lekang bahkan hingga
beberapa kali pertemuan kami. Ia sanggup menstimulus degup hatiku,
dingin keringatku, gigil tubuhku. Dan sensasi itu membuatku mulai
merindukan pertemuan berikutnya dan berikutnya. Membuat aku mulai
menginginkan untuk terus menatap wajah dan senyum.
Astagfirullah. Pantaslah jika Rasulullah hanya membolehkan pandangan
pertama saja, karena ternyata padangan kedua dan ketiga mampu
menjadikan sebuah pandangan sebagai zinah mata! Ya, seperti aku yang
sesekali mencuri pandang pada paras cantik Kang Imah.
Aku
tahu itu salah. Aku tahu Allah tak menyukainya. Tapi tak dapat
kumungkiri pula bahwa sepertinya telah aku jatuh cinta padanya. Karena
mata itu. Karena senyuman di pertemuan pertama itu! Hingga kini, bahkan
mungkin nanti!!
Ya, Allah, salahkah jika aku kasmaran padanya hanya karena cara menuntaskan rinduku telah pun salah?
*&*
Inilah mengapa kukatakan Imam Syafi’I menghindari perempuan demi
pembelajarannya, karena kutahu akhirnya bahwa memandang kecantikan
perempuan, hingga kemudian memikirkannya, sanggup membuat kita tak lagi
beristiqomah pada misi menuntut ilmu. Tak terekam lagi rapalan
Imriti-ku. Tak berjejak lagi hafadan Juzz-ku. Lantak sudah ritme
belajarku!
Tapi andai kali ini kau sempatkan untuk berhenti
menyalahkanku, aku ingin mengutarakan sejenak isi hatiku padamu. Aku
ingin berbagi pengakuan tentang Kang Imah, yang di hatiku mulai
kupanggil “Imah” saja.
Di mataku, sejujurnya ada sesuatu
yang kulihat pada Kang Imah selain paras cantik belaka. Aku melihatnya
sebagai gadis istimewa. Ada begitu banyak kiai yang memiliki santri
dan asrama di sini karena pesantren ini sudah menjadi semacam suatu
kampung santri atau padepokan. Ada banyak anak gadis para kiai pula.
Tapi mereka tak seperti Kang Imah yang tertutup hijabnya. Memang ada
pula yang tertutup hijab, tetapi mereka introver, tak lugas
berkomunikasi. Dari sini aku mengagumi Kang Imah. Aku mengagumi wawasan
ilmu keislamannya. Cacat dalam Bahasa Arab tak masalah, tetapi
kesupelan dan keluwesannya bertutur kata telah mampu mengantarkanku
pada perasaan ini.
Tadinya aku akan berpikir untuk mencintai
secara platonik saja. Tapi sang Waktu akhirnya menunjukkan bahwa Kang
Imah pun memiliki perasaan yang sama! Perasaan yang justru timbul dari
kekagumannya terhadap kefasihan Bahasa Arabku! Perasaan yang dalam
perjalanannya bahkan terbumbui karena ia menyukai wajahku di saat
kikuk. Perasaan yang sanggup membuatnya melakukan kesalahan yang sama
denganku: mencuri-curi pandang!
Dan cinta sepertinya memang
tak mudah dimengerti. Sama tak mudah dimengertinya perbuatan-perbuatan
yang kemudian ditimbulkannya. Sampai kini kami pun tak mengerti
mengapa kami akhirnya memutuskan untuk mengikat hati kami dalam sebuah
ikatan yang kamu sebut sebagai pacaran!
*&*&
Angin kumbang berhembus dari lereng Ciremai. Melewati Bandara Penggung,
ladang tebu, hingga sampailah ia menerpa kami yang duduk di bantaran
rel kereta Yogya–Cirebon pada suatu sore. Tak ada orang lain di sini
karena kawasan ini berada di tengah-tengah ladang tebu yang jauh dari
pemukiman penduduk dan kompleks pesantren. Namun tak ayal hati kami
gundah, sekalipun ada getar rindu yang terobati.
“Kita tak bisa terus begini,” ujarku gelisah. “Ini salah di mata Abah.”
Ya, salah. Pacaran saja sudah amat Abah haramkan, apalagi berduaan di
tempat sepi dengan status sebagai backstreet!! Kulihat Imah yang duduk
di sampingku. Ia tampak tertunduk. Mungkn menyetujui pula ucapanku
hingga tak kuasa ia memikirkannya.
“Kalau Abah tahu, kamu pasti
diusirnya,” Ia akhirnya bergumam. Ada getir dalam suaranya, tapi di
telingaku terdengar seperti sebuah ancaman!
“Kamu serius mencintaiku?” tanyanya, sedikit penuh harap.
Meski tak mengerti arah pertanyaannya, aku mengangguk pasti.
“Kamu mau menikahiku?”
Aku terkesiap. Gagu.
Sebenarnya bukannya aku tak mau. Hanya saja ia masih bersekolah dan aku
masih menyambi kuliah D3 di Kota Cirebon! Tapi kemudian Imah
menjelaskan maksud pertanyaannya.
“Cepat atau lambat Abah pasti
tahu hubungan kita. Aku tak ingin ia tahu hubungan kita, setidaknya
sekarang, saat keadaan kita sedang backstreet begini. Ia pasti akan
mengusirmu dan aku tidak diperbolehkan lagi bertemu kamu. Aku tak mau
kalau kita berpisah! Aku ingin kita menikah! Aku sudah kelas 3 SMU
sekarang. Enam bulan lagi aku lulus. Enam bulan lagi kamu harus
melamarku!”
Aku meringis, dan ingin bersuara – mungkin
tepatnya menceramahi tentang usianya masih mudalah, sangat disayangkan
jika menikah di usia mudalah, dan lain sebagainya – tapi saat kulihat
mata Imah, aku tahu ia tidak main-main. Malahan ia siap jika harus
menikah di usia muda!! Jadi tegakah aku memupus harapannya?
Tentu saja tidak!! Sudah menjadi impian yang kuidam-idamkan jika hidup
bersamanya, menjadi ayah dari anak-anaknya, dan penuntunnya menuju
surga kelak! Tapi tantangan utama adalah Abah, dan juga adat di
perkampungan santri ini. Dalam sejarahnya, tak pernah seorang pun
santri di sini yang sampai meminang anak kiainya, terutama santri
laki-laki terhadap putri kiainya. Selalu ada perjodohan antar anak kiai
yang telah mengakar menjadi tradisi.
Lalu sanggupkah aku melawan tradisi itu? Bisakah aku?
“BISA!” Dan Bowo yang optimistis. Dia satu-satunya kawan santri terpercaya yang kuceritakan tentang masalah ini.
“Kamu tahu kenapa para kiai sini senang sekali menjodohkan anak-anaknya?’
“Supaya bisa melanjutkan mengelola pesantren sekaligus mendekatkan keluarga dalam padepokan ini?” timpalku.
“Kurang lebih begitu,” ucap Bowo, “Tapi alasan paling utama adalah
alasan ‘percaya’. Seperti kamu bilang, menjadi mantu kiai tak hanya
menjadi mantu, tapi untuk dijadikan penerus pesantren pula. Tidak boleh
sembarangan dong, kalau ingin punya mantu seperti itu. Tapi jujur saja
mencari mantu ‘terpercaya’ juga susah. Makanya, para kiai sendiri ambil
‘jalan gampang’ saja, yakni menjodohkan anaknya dengan anak kiai lain
sambil mikir, ‘bapaknya aja soleh dan berilmu, masa anaknya tidak?’
Padahal kan belum tentu anak kiai pun sesoleh dan seberilmu bapaknya.
Iya, ora?”
Aku refleks mengangguk-angguk setuju.
Merasa mendapat angin, santri yang lebih sering menghabiskan waktu
senggangnya menggasab pohon tebu tapi dianugerahi otak yang gemar
beranalisa dengan gaya sok ilmiah itu, melanjutkan ucapannya penuh
semangat.
“Nah, nah, nah, ini yang patut kamu sadari.
Bagaimanapun, faktor berilmu dan soleh tetap paling utama. Coba
bayangkan saja, andai kamu jadi kiai, lalu anakmu dilamar oleh dua
orang. Yang satu anaknya kiai tapi preman dan bejat, sedangkan, yang
satu lagi santri yang soleh dan tinggi ilmu agamanya, bahkan Bahasa
Arab dan Ilmu Komputernya (walau D3). Kamu pilih mana?”
Aku mulai paham maksud ucapan Bowo.
“Dengan kata lain aku harus lebih soleh dan berilmu sehingga Abah tak
punya pilihan lain selain memilihku?” Bowo mengangguk mantap.
Ucapan
menyenangkan dari seorang Bowo. Tapi harus kusadari kisahku bukanlah
dongeng. Segalanya pasti tak akan berjalan mudah. Dan lagi, aku tak
dapat memungkiri bahwa aku takut segalanya akan berubah sia-sia.
"Man jada wa jadda," ucap Bono kemudian.
Aku tersenyum seketika mendengarnya. Gundahku pun mendadak sirna.
Ya, man jada wa jadda
– siapa yang berusaha akan mendapatkan hasilnya. Bukankah ruh itu yang
sellu didengungkan oleh agamaku? Juga santri-santri sini? Karena kami
menyadari bahwa sudah menjadi kewajiban seorang Muslim untuk berjuang
hingga titik terakhir!
Baiklah. Mulai detik ini kuputuskan aku
akan berjuang hingga akhir. Kuperbaiki ilmuku, dan akhlakku, hingga
saat yang dijanjikan tiba. Saat yang dijanjikan untuk meminang imah!
Jadi tunggulah, Imah. Di hari itu... aku pasti melamarmu!
Insya Allah!!
(Hara)
;aadk;ak;kda
Cerita dan tulisannya bagus, mas / mbak...
BalasHapusTerimakasih sudah menulis ini. Semoga berlanjut