Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

Jumat, 04 Juli 2014

CATAT : Ramadhan ini, Kamu JANGAN Sedekah!


Ini pendapat saya pribadi, jangan dipolitisir.

Saya pernah kerja  ngurus zakat, infaq, sedekah di Jakarta dulu. Selama 2 tahun kerja, saya nemu banyak "keganjilan" dalam proses ini.

Logikanya, ini pekerjaan mudah. Tinggal kumpulkan dana dari donatur, lalu cari saja orang miskin, lalu kumpulkan, lalu santuni, lalu beres lah. Di mana kita mendapatkan orang miskin? Ah, gampang! Comot di jalanan Jakarta juga pasti banyak!

Tapi kenyataan nggak segampang itu. Ini pertanggungjawabannya besar kalau nggak diatur profesional. 'Tul nggak? Mesti diteliti betul-betul latar belakang penerimanya.



Nah, dari meneliti inilah saya kaget orang punya tafsiran sendiri pada kata "miskin". Saya pernah nemu berkas seorang pengacara nekat mengajukan santunan bagi siswa tidak mampu, which is anaknya sendiri! Coba itu, anaknya sendiri! Apa iya pengacara tidak mampu? Oke, saya coba berpikir positif, mungkin memang ada pengacara miskin. Tapi ayolah. Semiskinnya pengacara masih ada yang lebih miskin, bukan? Pengemis, misalnya....

Tapi ngomongin pengemis juga dilematis. Masih ingat berita pengemis yang ketangkap Dinsos Jakarta yang ternyata kaya di kampungnya, Subang? Rata-rata pengemis di Jakarta memang se-dilematis itu. Kalau bukan anggota "sindikat" kelompok pengemis tertentu, minimal dia "sekedar" orang yang aji mumpung.

Serius lho, pengemis juga punya "sindikat". Di kantor saya, misalnya, dalam kurun waktu tertentu datang orang-orang yang minta dana dengan modus sama, bahwa dia mualaf yang tersesat, yang kerampokan, dan kehabisan bekal. Dia minta dana sebagai ongkos pulang. Kenapa dilematis? Karena menurut logika, ini orang berbohong. Bisa kacau kalau keluarin dana buat orang bohong. Kesannya nggak profesional gitu lho. Bisa habis kami pas diaudit nanti. Tapi kami juga takut logika kami salah. Kan kasihan kalau orang itu beneran kesulitan. Walhasil, keluarlah uang dari kocek kami sendiri.

Somehow, saya merasa dibodohi.

"Akh, nggak usah dipikirin. Allah pasti mencatatnya sebagai sedekah kita. Insya Allah ada ganti lebih baik," ujar teman.

Kalau itu, saya setuju. Tapi apa tidak egois kalau kita cuma mikir pahala buat kita sendiri sementara kita gagal mencegah dana kita dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab? Apalagi sekarang Ramadhan, bulan di saat sampeyan, Pembaca, berbondong-bondong rajin sedekah. Sampeyan sadar tidak sih jumlah pengemis membludak saat Ramadhan? Mereka sengaja datang dari jauh cuma demi "sejumput rejeki"?

Okelah, belum tentu para pengemis itu sekaya pengemis dari Subang. Tapi saya tidak melihat kedermawanan kita berhasil mengangkat motivasi mereka untuk bekerja, minimal menjadikan hasil mengemis peluang usaha kecil-kecilan.

Jadi, ya. Ramadhan ini, saya larang kamu sedekah pada mereka yang memanfaatkan kedermawananmu saja! Tapi saya menganjurkan kamu sedekah pada orang miskin sejati.

Siapa orang miskin sejati? Lihat gambar di bawah :
Dia bapak renta pengayuh becak di Cirebon. Lihat posisi dia ngayuh. Dia rapuh. Tidak gagah lagi mengayuh, padahal penumpangnya bukan manusia, tapi sampah plastik yang di-aisnya dari tong sampah. Sampah itu disortirnya, lalu dijual ke  pengepul dengan harga sekadarnya. Tidakkah kamu kasihan? Dia sadar tidak bisa berkompetisi dengan tukang becak yang lebih muda. Alih-alih mengemis, dia cari kerjaan sampingan yang tidak seberapa. Ya, orang miskin sejati adalah orang yang tidak menyerah pada keadaan meski nasib baik tidak berpihak padanya!

Kita lihat juga lelaki ini :

Di usia senjanya dia masih berusaha dagang. Niatnya bagus. Sayangnya barang seperti ini tidak lagi dicari orang. Pedagang renta ini gagal paham komoditas apa yang bisa menarik minat banyak orang. Wong pengetahuannya terbatas je. Yang menurut dia murah modalnya, ya dia jual. Bahkan ada juga yang tidak bermodal. Saya pernah nemu kakek renta yang jual bibit tanaman (liar) yang dia ambil dari kebon kosong (atau pemberian orang). Orang Jakarta mana ada tanam begituan di halaman rumahnya yang sempit? Tapi tetep aja dia ngider, berharap orang beli, karena cuma barang itu yang bisa dia jajakan. Tidakkah kamu terenyuh padanya?

Atau pada......
 Atau pada.....

Wajah-wajah mereka kuyu dan lelah menghadapi kerasnya hidup. Mereka tetap langkahkan kaki demi asa yang hampir mati. Tidakkah sampeyan setuju jika sedikit santunan pasti menghidupkan lagi senyumnya? Dapurnya ngebul lagi. Modal dagangnya lebih baik lagi. 

Kalau saya pribadi, sejujurnya tidak suka sedekah secara langsung. Pada pedagang perabot di atas, misalnya, saya lebih suka pura-pura membeli ciduk--biarpun nggak butuh--dengan duit yang tidak mungkin dia punya kembaliannya. Saya lalu bilang, "Ya sudah, Pak. Kalau nggak ada kembaliannya, buat Bapak saja semua."

Kenapa saya lakukan itu? Agar dia tidak menganggapnya "easy money". Agar gairah bekerjanya tetap tinggi!

Saya sebenarnya tidak benar-benar melarang sedekah pada pengemis lho. Kalau mereka betul-betul membutuhkan, pantang kita abaikan. Tapi alangkah lebih baik jika santunan kita melecut gairahnya untuk bekerja agar dia bisa menghidupi keluarganya secara mandiri.

Saya sekarang sudah keluar dari kerjaan saya. Tapi saya tidak berhenti  concern pada masalah ini. Saya gabung dengan donatur lainnya di Dompet Dhuafa yang memfokuskan dananya untuk program pemberian modal usaha pada fakir miskin. Alhamdulillah saya sering melihat gerobak bakso, misalnya, seliweran sana-sini dengan logo Dompet Dhuafa. Saya harap,  donatur lain yang se-visi bermunculan. Tidak mesti ikut ke Dompet Dhuafa juga. Mengelola sendiri juga silahkan saja. 

Tokh kita sama-sama percaya bahwa sedekah yang menumbuhkan semangat si papa untuk mandiri pasti akan jauh lebih indah dari sedekah yang disalurkan sembarangan saja :)

1 komentar:

  1. Good.. pencerahannya semoga bisa bermanfaat bagi orang banyak...

    BalasHapus