Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

Jumat, 29 Juni 2012

PELAJARAN PENTING BUAT CALON PENGANTEN : Mempelaimu Ga Cuma Satu!


Kata orang, “lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya.” Itu benar. Karena tiap-tiap tempat punya “habitat”-nya masing-masing. Tapi mungkin istilah ini sangat Indonesia, karena di luar negeri,Oh gitu yeee,  aturan ini nggak terlalu berlaku, terutama untuk rimba pernikahan.

Kalau di luar negeri, sehabis dapet gawe anak berhak nentuin sendiri hidupnya dan pasangan hidupnya tanpa perlu dicampuri keluarga. Di Indonesia urusannya jadi ribet karena
keluarga merasa punya hak buat ikutan menilai. Makanya ada istilah:

“Ketika kita menikahi seseorang, maka kita menikahi juga keluarganya.” Tujuannya biar kita bisa menikahi orang yang “pas” bagi semua pihak dalam keluarga kita.
http://www.toonpool.com/user/997/files/arab_wives_mother_in_law_1120685.jpg

Tapi kadang, se-“pas-pas”-nya orang, ada “keseleo”-nya juga. Yang ujung-ujungnya bisa timbul ketidakharmonisan dalam keluarga. Yah, namanya juga hidup dengan belasan kepala. Tul ga?

Ini terjadi sama temenku, sebut saja Iniwati. Dia menikah sama tetangganya sendiri, sebut saja Inibudi. Perjodohannya tergolong cepat, karena keluarga sudah saling kenal, “proses penilaian”-nya juga ekspres lah. Tapi ternyata itu nggak menjamin dia terhindar dari “tsunami pernikahan”.

Sehabis menikah, dia baru menyadari mertuanya nyinyir. Apa pun yang dia lakukan, dikomentari setajam silet. Kalau dia pulang telat, misalnya, mertua yang tidak tinggal serumah tapi tetanggaan akan nanya: “Lembur, Mbak? Kok tiap hari? Diantar siapa? Laki-laki ya?”

Duuuh, kesannya dia habis selingkuh gitu! Apalagi saat itu suaminya sedang kerja di luar negeri.
Atau saat dirinya sering kirim hadiah buat orangtuanya yang pindah ke Jawa Tengah. sang mertua selalu komentar dengan kesan bahwa Iniwati telah menghamburkan jerih payah suaminya! Celakanya, si Iniwati orang yang tipis kuping. Selama lima tahun perkawinan, selama itu juga dirinya sering berantem sama mertuanya!

Salah satu film tentang hubungan Mertua-Menantu
http://www.paisley.presys.com/graphics/monsterinlaw.jpg
Kisah kakakku lain lagi. Ada enam orang kakakku, dengan beragam karakter. Ada yang ngomong blak-blakan. Ada yang banyak nuntut. Ada begini…  ada begitu…

Tersebutlah kakak yang konon agak pelit. Konon lho, ya, karena kebetulan aku nggak merasakannya secara langsung. Si kakak (dan keluarganya) ini kalau mudik Lebaran ke rumah ibunda punya “setting-an” bertamu. Ogah ikut bantu-bantu ngurus rumah. Sering curi start “ngumpulin oleh-oleh”. Dan hobi jajan sendiri tanpa bagi-bagi. Ini ternyata bikin kakak yang lain meradang, karena mungkin sebagai keluarga besar, saudaranya itu seolah mementingkan enak keluarganya sendiri. Otomatis seringkali muncul sindiran darinya.

Misalnya saat pembantu menawarinya makan. Dia langsung menjawab, “Biar si Orang Kaya dulu yang makan!” Siapa pun tau kalimat itu dimaksudkan pada kakak yang satunya.

Kalau aku, alhamdulillah, nggak ada gejolak kayak gitu dengan mertua atau keluarga istriku. Mertuaku, orangnya superbaik. Keluarga besar juga hangat-hangat. Walau sebenarnya ada peningnya juga he he…. (jadi curhat deh).

Tapi bukan masalah serius lho. Peningnya semata-mata aku tumbuh besar di keluarga pesisir pantai yang kalau ngomong serba blak-blakan. Yang bilang “tidak” berarti “tidak”. Lihat saja tuh “pertengkaran” kakak-kakakku. Semua diutarakan lugas dan tanpa batas, bikin suasana jadi riuh dan seru. Tapi setelah itu semua reda dengan sendirinya, nggak sampai benjut-benjutan.

Sementara keluarga besar istri justru sebaliknya. Mereka rata-rata tumbuh besar di kawasan gunung yang logat daerahnya saja lemah lembut kayak lagu. Yang bilang “tidak” bisa berarti “ya”, semata-mata untuk kesopanan. Sewotan dan humor (agak) kasar seperti yang wira-wiri di keluargaku nyaris nggak ada di mereka. Pokoknya beda 180 derajat lah!

Dan persis seperti pepatah yang kusebut paling awal, semuanya pasti beres kalau kita menyesuaikan diri, bukan? Kupikir juga gitu. Tapi bakat alam memang susah dihilangkan kali ya. Nggak jarang candaan (agak) kasar meluncur juga dari mulutku. Obrolan dan teguran gaya preman pun ikutan muncul. Wah, bisa gaswat nih!

Celakanya, aku sering melakukannya tanpa sadar. Celakanya lagi, keluarga besar istriku tipe-tipe yang nggak akan ngasih tau langsung kalau kita salah. Mereka akan diam saja, tapi perlahan-lahan jaga jarak. Itu yang bikin pening. Kita harus berusaha mati-matian introspeksi sendiri. Pening jilid duanya, kita nggak bisa begitu saja minta maaf, karena belum tentu yang kita introspeksiin sesuai dengan yang dipermasalahkan. Pening jilid tiganya, mungkin setiap hari kita akan selalu minta maaf karena gaya pesisir kita memang terlalu kasar untuk gaya gunung mereka.

Yah, itulah dilemanya berkeluarga, pemirsa. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatuh jua.

Lalu bagaimana solusinya?

Kalau yang ini, kita berkaca aja sama kasus Iniwati. Tsunami pernikahan yang never ending-nya itu akhirnya mencapai klimaks. Yakni saat dirinya tidak sengaja curhat pada ibunya tentang hubungannya dengan mertua. Seperti umumnya orangtua, naluri mereka adalah melindungi anaknya tidak peduli siapa benar siapa salah. Jadi ortu Iniwati pun naik pitam, langsung nelepon si mertua dan mengultimatumnya! Celakanya, sodara-sodara kandung Inibudi jadi tersinggung. Mereka pun balas mengultimatum orangtua Iniwati! Hilir mudik ultimatum pun terjadi, persis hilir mudik rudak scud vs rudal tomahawknya Perang Teluk!

Mau tak mau “konferensi meja bundar” pun diselenggarakan buat mencegah perang lebih besar. Semua pihak berkumpul satu sama lain, mengutarakan keluh kesahnya. Pertengkaran pun tamat, dan Iniwati belajar satu hal, bahwa:

Setiap orang memang beda watak dan kebiasaan. Kalau mertuanya nyinyir dan itu tidak bisa diubah, ya sudahlah. Berarti Iniwati yang memilih mengubah sifat buruknya yang terlalu tipis kuping. Dia bersikap masa bodoh dengan apa pun yang dikatakan mertuanya. Iniwati cuma bertekad satu hal : ia tetap akan bersikap baik pada mertuanya tidak peduli penerimaan sang mertua buruk.”

Curhatan setiap Saudara Ipar
http://rlv.zcache.com/brother_in_law_mug-p168239604421176643enw9p_400.jpg

Nah, ini jadi pelajaran bagus juga buat kita, tentu juga aku. Terlalu banyak watak dan budaya yang beda jauh dengan kita di dalam keluarga. Kita wajib belajar dan menyesuaikan diri, itu sudah jelas. Tapi kalau kita memusingkan setiap watak buruk dari suatu pihak, jangan! Kita akan pusing sendiri. Kita cukup berkaca saja apakah kita cukup baik untuk menilai orang lain buruk. Setelah itu, berbuat baiklah tanpa peduli pandangan orang lain terhadapmu.

Jadi, para calon penganten. Jangan mundur gara-gara tulisan ini. Satu hal yang harus benar-benar kamu ingat bahwa kamu harus tetap berbuat baik pada mereka. Bagaimanapun keluarga adalah tempat terdekat jika kita mengharap pertolongan saat kesusahan. Tapi jangan mengharap pamrih lho ya. Tokh, kalaupun mereka tidak bantuin, kebaikan kita pasti akan berbuah pertolongan dari Allah. Percayalah….. Dan yang penting….. just be yourself ….^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar