Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

Senin, 06 Oktober 2014

Bapak Ini Ngamuk Anaknya Kalah Kontes


Pagi-pagi datang ke kantor, tiba-tiba terdengar suara orang ngamuk, dikerumuni beberapa teman kantor. Mengira ada gelut, mendekatlah aku.

"Curang itu!"

"Anakku dipermainkan! Masak nilainya bagus, tapi dieliminasi!"

Ealah... ternyata seorang teman kantor dari seksi/bagian lain sedang mengungkapkan rasa kesalnya.

Aku jadi ingat, beberapa hari lalu temanku yang usianya jauh di atasku itu (makanya kupanggil "Bapak") keliling kantor membagikan pamflet pemberitahuan.

"Mohon dukungannya ya. Anakku mau tampil di ******* (nyebutin salah satu kontes nyanyi di tivi). Mohon  nonton, dan kalau bisa SMS, biar menang. Nomornya ada di kertas itu."

Aku melirik ke pamflet fotocopy-an itu. Di sana tertera nama anaknya dan nomor tujuan SMS-nya.

"Kapan penampilannya, Pak?"

"Insya Allah malam Kamis."

Tapi di malam Kamis, si anak tidak tampil. Sang Bapak pun memberitahukan ulang bahwa anaknya di-reschedule tampil malam Senin.

Dan ternyata... jadwal si anak di-reschedule lagi, jadi malam Minggu. Inilah (salah satu) poin yang diributkan.

"Ini jelas curang! Pihak TV-nya pasti nggak mau anak saya menang! Mereka ubah jadwal terus! Mereka baru kasih tau anakku tampil pas Minggu dini hari-nya! Pas acara eliminasi malam Sabtu-nya udahan!" kata Bapak.

"Anakku mana sempat latihan ?! Kepaksalah dia latihan saat itu juga, cuma sekali-kalinya! Makanya  nyanyi dia jelek, gara-gara stasiun TV-nya juga!"

"Ini jelas ada permainan. Wong presenternya aja bilang poling SMS anakku tertinggi kedua. Kenapa dieliminasi??"

Amukan terhenti sampai segitu. Sang Bapak mesti kembali ke ruangannya. Tapi.... memang sudah takdir bangsa Indonesia..... acara dilanjutkan sesi NGERUMPI.

"Si Bapak kayaknya nggak paham aturan kontes itu," ujar teman A. "Dia kira yang SMS-nya tinggi pasti menang."

"Tinggi apaan?" kata teman B." Saya juga nonton. Poling SMS-nya nggak tinggi kok."

"Lha, kok Bapak bilang polingnya tertinggi kedua?" kataku,yang nggak nonton.

"Bukan tertinggi kedua. Tapi setingkat lebih tinggi dari peserta yang poling SMS-nya paling buncit."

"Lho? Itu juga kan bukan alasan dieliminasi. Harusnya yang paling buncit itu dong dieliminasi."

"Aturannya agak beda. Ini ada voting juri juga yang berpengaruh pada hasil. Juri milih yang paling buncit buat di-'selamatkan', karena penampilan anak si Bapak kurang greget."

"Berarti bener dong, jurinya curang?" kataku lagi.

"Bener apaan? Kalau aku jadi jurinya, aku juga ga akan lolosin anak si Bapak. Suara nya pas-pasan gitu."

Ugh, kedengaran kejam nih.

"Intinya begini, Mas," kata teman A. "Aku juga pernah dukung kerabatku di kontes kayak gitu. Aku malah nonton langsung di studio-nya. Jadi aku paham segimana dinamisnya kontes kayak gini."

"Nah, Bapak nggak paham. Dia cuma SMS 1 x, tetangganya 1 x, keluarga besarnya juga 1 x. Mana bisa menang kalau orang lain jor-joran kirim SMS berkali-kali.  Malahan peserta lain jadiin ini semacam komoditas. Ada tim suksesnya, dan ada pernak-pernik yang dijual ke penonton/pendukung. Nanti, hasil jualan pernak-pernik itu dibeliin pulsa buat poling SMS."

"Si Bapak juga nggak paham kalau kepentingan TV itu CUMA acaranya rame. Mereka nggak peduli siapa yang tereliminasi. Mereka nggak punya kepentingan juga buat mencurangi peserta biar nggak lolos. Makanya mereka ubah-ubah jadwal juga demi liat dinamika acara. Malahan itu salah anaknya si Bapak dong. Masak nggak siap-siap? Memangnya dia nggak latihan sendiri dulu,  minimal buat siapin mental barangkali ada tuntutan tampil mendadak."

Well, penjelasannya masuk akal sih. Apa pun itu, aku merasa bersimpati pada si Bapak. Aku tahu perasaanmu, Pak. Aku tahu bagaimana sakitnya kekecewaan. Aku tahu sakitnya kekalahan. Aku juga kan sering ikut kontes juga, tapi kontes nulis.

Asiknya kontes nulis itu, kalau kalah nggak merasa "dipermalukan" secara live. Tekanannya agak kecil--apalagi kalau pake nama pena.

Tapi kontes tivi itu tekanannya huebbbat benarrr! Rasanya gimanaaaa.... gitu merasa kalah di depan umum, apalagi setelah woro-woro ke teman-teman dekat. Padahal secara akal sehat, kita seharusnya bersyukur. Untuk sampai ke tahap eliminasi pun tak semua orang bisa. Itu jadi prestasi tersendiri buatku.

Aku jadi paham kenapa tahun ini banyak sekali pesohor yang sulit sekali menerima kekalahannya. Alih-alih menerima, mereka lebih suka mencurigai panitiannya berbuat curang.

Akh, sudahlah. Tokh aku juga nggak lebih baik dari mereka. Aku juga nggak lebih baik dari Bapak. Kalau aku di posisi mereka, aku juga pasti ngamuk seperti mereka.

Dan satu hal yang tidak/belum pernah dipelajari oleh bangsa Indonesia adalah CARA MENYIKAPI KEKALAHAN DENGAN BAIK DAN BENAR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar