Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

Rabu, 29 Oktober 2014

Jam Kerja di Jakarta Dimajuin? Ga Ngaruh!!

Baca berita Ibu Menteri Susi Pudjiastuti memajukan jam kerja ini, perasaan saya jadi ngilu. Karena persoalan jam kerja inilah yang bikin saya hengkang dari Jakarta.

Saya tidak pernah merasakan asyiknya berangkat pagi. Untuk masuk kerja jam 8 saja, saya harus berangkat jam 6. Belum kalau malamnya hujan. Bisa gawat itu. Saya harus perkirakan ruas-ruas mana yang terputus banjir, lalu ruas-ruas mana yang bakal terjadi penumpukan kendaraan. Buat antisipasi, mestilah saya berangkat lebih pagi lagi.

Belum pulangnya. Di Jakarta, jam 14 aja lalu lintas sudah padat merayap. Puncaknya jam 17-19. Kalau ditambah kondisi habis hujan, maka siap-siaplah lagi sampai rumah jam 22!

Itu baru saya, yang tinggal di Bekasi. Pada tahu kan, Bekasi jauhnya kayak gimana? :)

Berita "bagus"-nya, temen saya yang tinggal di Bogor lebih dahsyat lagi. Dia mesti berangkat jam 4--bahkan solat subuh di stasiun--supaya bisa datang ontime!


Jadi, waktu ibu menteri baru, Susi Pudjiastuti, bikin kebijakan baru memajukan jam kerja, saya pikir ini nggak efektif, walaupun dengan alasan biar cepat kumpul sama keluarga.

Silahkan tanya anak saya. Jam berapa biasanya bokapnya berangkat dan pulang kerja. Jawabannya pasti gampang : "waktu aku masih bobo dan waktu aku udah bobo." Berangkat lebih pagi lagi? Ya sama saja, sebab yang kita bicarakan itu rush-hour Jakarta yang begitu panjang: jam 5-10 dan jam 15-19 malam.

Pada akhirnya saya datang ke tempat kerja dalam kondisi kucel--padahal waktu di rumah sudah rapi jali kayak Leonardo diCaprio di film American Hustle. Nanti pulang juga pasti makin kucel. Saya jadi kesel. Rasanya gimana gitu, setiap hari saya menghabiskan waktu sia-sia selama 4 jam di jalanan, padahal kalau dipake buat nulis bisa dapat berlembar-lembar! Puncaknya saat saya mesti melewatkan kesempatan besar gabung tim kreatif sebuah PH gara-gara sempitnya waktu berkualitas buat ngejar deadline. Ya sudah, saya pindah kerja aja ke kota yang lebih ramah pengguna jalan. Maksudnya, biar kerjaan yang berdasarkan gaji tetap lancar, kerjaan yang berdasarkan honor "musiman" juga lancar (padahal kalau pengen milih, bukan Jakartanya yang saya tinggalkan tapi kerjaan kantorannya :D akh sudahlah, ini bukan bahasan sekarang)

Tapi saya pernah suka banget sama jam kerja di Jakarta. Itu waktu tempat kerja saya dipimpin oleh bos yang "fleksibel", yang "bikin kebijakan" datang  jam 10, pulang jam 20.  Dia membolehkan anak buahnya telat, syaratnya lembur tanpa minta uang lembur. It's fine. Malahan bagus. Saya bisa ngajak main dulu anak, atau nganterin dia ke tempat ngaji (anakku ngaji pagi hari). Habis itu berangkat kerja saat lalu lintas udah agak lengang.

Pulangnya  juga gitu. Lalu lintasnya agak lengang, maka sampai rumah pun bisa lebih cepat; bisa 30 menit doang! Bandingkan dengan keberangkatan /kepulangan saya kalo rush-hour yang ngabisin waktu 2 jam-an.

Memang sih, konteks yang Ibu Susi Pudjiastuti bahas adalah jam kerja (layanan) instansi pemerintah. Kesannya aneh, gitu, kalau instansi pemerintah buka siang-siang dan tutupnya malam-malam. Tapi Pemprov DKI udah membuktikan, pas mereka buka layanan malam hari, masyarakat juga tetep datang. Intinya kan masyarakat bisa datang kalau dia senggang. Siapa tahu dia harus cuti kerja dulu biar senggang. Kalau boleh milih, mereka pasti pilih datang memenuhi urusannya di instansi pemerintah tanpa mengorbankan kerjaan/jatah cutinya. Jadilah pelayanan malam pilihan yang sangat menggiurkan.

Nah, kenapa Ibu Susi tidak mencoba itu?

Oke.... oke..... tidak semua orang berkenan dengan model kerja "ekstrim" begini, terutama kaum hawa. Mungkin cara lebih asik adalah "pembagian waktu kerja yang terstruktur sistematis, dan massif". Maksudnya, nggak satu instansi aja yang ngatur jam kerjanya, tapi SELURUH penghuni Jakarta. Misal, khusus anak sekolah masuk jam 6;  Khusus instansi pusat jam 7; Khusus instansi kotamadya jam 8; Khusus swasta sektor jasa jam 9; khusus swasta sektor perbankan jam 10; dan seterusnya. Kan asik tuh mereka nggak plek ketiplek di jalanan dalam waktu bersamaan.

Tapi saya sih (tetap) lebih suka jam "ekstem" di atas. Mengatur  jutaan makhluk Jakarta lebih susah dari mengatur ratusan orang. Let me tell you this, waktu aku kerja "ekstrim"  itu, 2/3 pekerjanya berujud CEWEK. Sebagian mereka single, sebagiannya lagi sudah beranak pinak. Dan mereka berani mati tetap kerja walau jam udah nunjukin pukul 23 pas!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar