Halaman

Setiap kejadian punya kisah lain di belakangnya. Ibarat panggung pertunjukan, situasi di depan dan belakang sama riuhnya. Situasi di depan, orang banyak yang tahu. Lalu bagaimana kisah di bagian belakangnya?

Di tempat inilah cerita (di belakang panggung) bergulir.......

Jumat, 29 Juni 2012

BIAYA PENDIDIKAN : Jalan Menuju Kesengsaraan


“Hidup selalu bermurah hati pada orang yang berusaha,” begitu kata pepatah.

Pepatah yang paling kusuka. Yang bikin aku semangat mencari sesuap nasi genggam berlian nggak peduli panas ataupun hujan! Yah, ibarat kata, hidup itu pasti terasa mudah kalau kita memandangnya mudah. Tapi…… Ada tapinya lho…..

Filosofi ini kok kayak nggak nyetel dengan dunia pendidikan ya? Mau berusaha segimana juga, yang namanya pendidikan itu
tetap sama: tetap berat di ongkos alias MAHAL!

Ini yang lucu. Di zamanku kuliah (tahun 1999), biaya pendidikan masih sangat murah lho. Status kampusnya pun kampus negeri ternama, tapi per semesternya aku CUMA bayar SPP kurang dari Rp300.000! Lha sekarang mana ada kampus yang bayar segitu? Belakangan memang banyak kampus yang mulai gembar-gembor nyebut bahwa masuk ke sana biayanya nol rupiah! Tapi maaf-maaf saja. Bukan maksud mau berprasangka buruk. Hati kecilku tetap berkata bahwa untuk menghadapi kampus kayak gini pun diperlukan cadangan duit yang berlimpah. Sebab pengalaman yang sudah-sudah, selalu adaaaaa saja istilah baru yang dipakai oleh orang-orang untuk “merupiahkan” sesuatu.

Yup. Dengan kata lain pendidikan sudah tidak ada bedanya dengan barang kelas premium di mal-mal. Duh, kasihan banget orang-orang yang tumbuh di zaman sekarang (dan yang akan datang). Kasian banget kamu, Anakku. Kamu lahir dan tumbuh di zaman di mana kamu harus mengarungi pendidikanmu (terhitung satu tahun ke depan, saat kamu mulai mengenal PlayGroup) bergantung pada tebalnya kocek uang!

Keceriaan seperti inilah yang ingin kulihat dari wajah anakku
Saat ia bisa sekolah dari TK hingga sarjana!
Eits, tunggu dulu. Ini tidak membuktikan aku kalah bertarung sebelum maju perang. Aku tetap ingin mencerdaskan anakku yang tengah lucu-lucunya itu sampai dia sarjana nanti! Tapi pengalaman orang-orang di sekitar mengajarkan aku bahwa biaya pendidikan menjadi masalah yang teramat serius bagi orang tua modern mana pun.

Kakakku nomor lima misalnya (aku bungsu dari tujuh bersaudara). Sekarang sedang dipusingkan biaya kuliah anak sulungnya. Si anak ngotot kepingin masuk Farmasi sebuah universitas terkenal di Bandung. Minat ada, tekad juga siap. Namun biaya masuknya mencengangkan. Minimal sang kakak harus menyediakan uang 35 juta! Dia harus mendadak menabung dari sekarang, yang entah waktunya cukup atau tidak untuk mengumpulkan uang sebesar itu dalam hitungan 3 minggu.


Kakakku nomor tiga, tahun kemarin kelimpungan. Dia harus menyediakan uang 30 juta agar anaknya diterima di Manajemen sebuah kampus negeri terkenal. Padahal tahun itu dia juga mendapat jatah naik haji untuk dirinya dan istri sehingga harus melunasi Biaya Haji sebesar 63 juta rupiah!  Kepalanya langsung nyut-nyutan. Obat sakit kepala merek apa pun tidak lagi mujarab. Sebab obat mujarabnya cuma satu : kebebasan financial dadakan! Tapi itu jelas tidak mungkin. Pada akhirnya, dia terpaksa berhutang ke sana sini.

Dilemma seperti ini dialami juga tetangga depan rumah yang tahun depan mendaftarkan anaknya ke Taman Kanak-kanak. Aku cukup dibikin tercengang saat tetangga cerita bahwa pihak sekolah sudah jauh-jauh hari bilang bahwa biaya masuk TK tahun depan naik dari 7 juta menjadi 10 juta rupiah!


“Ya ampun…… Masukin anak ke TK saja seharga sepeda motor?!” gumamku.

Celakanya, ijazah TK jadi syarat mutlak agar diterima masuk SD, sama mutlaknya dengan ijazah SD buat SMP, ijazah SMP buat SMA, dan seterusnya  sampai  anak kuliah nanti. Proses jalin-menjalin ini sudah otentik banget dan tidak bisa dihindari atau ditawar-tawar, tak ubahnya  efek domino dari skenario kesengsaraan financial abadi!

Kesengsaraan ini tidak semata-mata milik orang tidak mampu lho. Orang dari kalangan menengah sepertiku pun bisa keok di tengah jalan menghadapi “kepongahan” biaya pendidikan Indonesia.

Tetanggaku saat aku masih jadi kontraktor (maksudnya, pengontrak di rumah petak), misalnya. Dia keok saat anaknya yang nomor satu, dua, dan tiga secara bersamaan lulus sekolah dan otomatis secara bersamaan pula butuh biaya masuk kuliah, SMA, dan SMP yang sangat besar. Tentunya, makna “biaya besar buat satu anak” saja  bikin kepala cenut-cenut. Apalagi “biaya besar pangkat tiga”!

Sementara itu suaminya “cuma” PNS golongan II. Tentunya tidak semua PNS punya mental seperti Gayus yang bisa menyulap gaji 2 juta jadi miliaran rupiah. Suaminya PNS jujur, tidak bisa begitu saja mengatasi “biaya besar pangkat tiga” itu sekejap mata.

Keputusan pahit pun dibuat. Anak ketiga, tetap masuk SMP; Anak kedua, ditunda masuk SMA-nya; Anak pertama secara suka rela melepas kesempatannya masuk universitas, padahal dia sudah lulus melalui jalur undangan!

Meskipun cuma tetangga, tapi aku turut menangis. Aku seperti berkaca bahwa suatu saat aku pasti menghadapi dilemma yang sama. Aku tidak sanggup membayangkan anak-anakku kelak harus melepaskan kesempatannya untuk makin pintar gara-gara ketakberdayaanku dalam mengelola keuangan.

“AKU BUTUH KEBEBASAN FINANSIAL! AKU BUTUH RENCANA MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK!!”

Yah, biar kata “cuma” pengusaha kecil-kecilan, aku juga butuh hal di atas, kan? Apalagi pengusaha itu profesi yang pendapatannya naik-turun. Sekarang jaya, besok belum tentu gitu. Kalau tidak dari sekarang membangun fondasi keuangan yang kuat, kapan lagi coba?

Terlebih,  aku juga menjadi pelaksana suatu lembaga zakat. Semacam lembaga keuangan juga tapi bersifat akhirat. Tapi dari segala latar belakang “kesibukan dunia-akhirat” ini aku semakin punya motivasi untuk meraih kondisi bebas financial. Agamaku secara eksplisit mengajarkan umatnya agar jadi orang kaya yang memberi manfaat bagi masyarakat. Aku jelas ingin jadi orang kaya semacam itu! Caranya, tentu saja berdoa dan berusaha! Berdoa, sudah pasti kepada Allah SWT. Nah, urusan berusaha tentu saja tidak sebatas bekerja keras. Perencanaan keuangan yang matang pun mesti ditempuh!
Saat aku jadi pembicara tulisan populer  (aku ex-editor) di sebuah sekolah bonafid.
Dengan merencanakan masa depan, aku berani bermimpi menyekolahkan anakku juga di sini!
Kakakku yang nomor enam sudah merintisnya. Dia memilih solusi perbankan dalam bentuk asuransi buat anak bungsunya. Dia bahkan sering berseloroh bahwa anak bungsunya itu seharga 40 juta rupiah sekarang  (dan akan bertambah lagi nilainya kelak)! Teman satu profesiku pun sama. Tiap bulan dia bolak-balik setor biaya premi ke perusahaan asuransi lainnya. Sementara temanku yang lain, punya asset juga di perusahaan asuransi berbeda.

Pokoknya, ada banyak perusahaan perbankan yang bergerak di bidang asuransi deh! Saat aku mampir ke bank BCA terdekat untuk membereskan nomor PIN kartu ATM-ku yang terblokir, aku tidak sengaja lihat brosur EduSave, yang kurang lebih bergerak dalam program yang sama.

Saat itu, aku bertanya ke CS yang melayaniku tentang EduSave. Dia menjelaskan dengan santun, lalu dia menghadirkan juga marketingnya EduSave. Aku beralih ngobrol dengan si marketing. Dia menjelaskan program asuransi pendidikan ini lebih detil. Lancar banget dia menjelaskan.

Tapi maaf saja ya. Aku lalu menolak ajakan dan penjelasannya, dan bergegas pergi. Ada satu hal yang sering kali luput disadari banyak orang, bahwa aku bukanlah tipe orang yang percaya pada apa pun yang kudengar, tapi tipe yang percaya pada apa pun yang kulihat. Aku sudah banyak malang melintang (ceilah, gaya) dalam mencari solusi perbankan/asuransi yang produk perbankan dan layanan perbankan-nya pas di hatiku. Banyak orang juga yang sudah bersusah payah menjelaskan program asuransi pendidikan yang dia geluti agar aku ikutan terjun ke sana. Tapi selama mata ini belum menemukan informasi yang tepat, aku tak ubahnya bocah kecil di tengah ratusan toples permen!

Jadi, kuucapkan terima kasih pada perusahaan asuransi mana pun yang mau bersusah-susah membuat informasi di media cetak dan elektronik tentang ini, termasuk www.bca.co.id. Aku lebih banyak tercerahkan dari sana. Jadi aku pun mafhum satu hal bahwa EduSave punya kemudahan transaksi yang selama ini aku ingini. Cuma tinggal potong sejumlah rupiah dari tabunganku tiap bulannya, aku sudah otomatis bayar premi. Yah, namanya juga nasabah di sana. Wajar dong kalau berharap kemudahan seperti inilah yang kuingini.

Setelah ini, aku bisa ikutan berseloroh deh bareng kakakku nomor enam he he he….

 

7 komentar:

  1. Aku juga ikut asuransi pendidikan tuh. tapi bukan BCA. Bayar preminya memang mesti bolak balik ke sana ha ha ha.....

    BalasHapus
  2. Yah gitu lah dunia pendidikan indonesia.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. ibarat makan buah mengkudu, Mbak. pahit, tapi baik.biar bermanfaat harus disiasati bener-bener ^_^

      Hapus
  3. biaya pendidikan di indonesia sudah bagai badai kekurangan serotonin

    itu yang masuk manajemen pasti si "N" hahahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gya ha ha.... Tau dari "N"-nya atau tau dari orang yang juga kuliah di uneversitas yang sana? ^_^

      Hapus
    2. tau dari yang "N"nya da. hahahaha

      Hapus